Mengenal Budaya Kain Timur Sebagai Instrumen Politik Meraih Kekuasaan


Oleh : Octovianus Duwith

Kain Timur merupakan salah satu tradisi budaya masyarakat Kepala Burung pulau Papua (the ‘vogelkopt’ of New Guinea). Berdasarkan studi yang dilakukan Elmberg 
(1955), Pouwer (1957), dan Kamma (1970), Mansoben (1994) menyatakan bahwa Kain Timur berasal dari Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku masuk ke daerah ‘kepala burung’ diperkirakan semenjak paruh pertama abad ke-16. 

Filosofi dari Permainan Kain Timur yang menjadi tradisi, budaya, dan adat masyarakat di wilayah kepala burung dapat diadopsi dan diimplementasikan dalam kegiatan politik modern di zaman ini.

Tradisi, adat, dan budaya ini kemudian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber daya untuk menggalang dukungan dalam mendapatkan kedudukan dan kekuasaan serta pengaruh. Bukan saja dalam proses Pilkada, melainkan juga di dalam menjalankan kepemimpinan sesudah memenangkan Pemilihan.

Ada beberapa bentuk dari permainan Kain 
Timur yang digunakan sebagai penggalangan dukungan menggunakan sumber daya tradisi, antara lain:

1. Hubungan adat antarkeluarga kedua belah pihak pascaperkawinan: 
Atas dasar perkawinan, dan pasca pembayaran maskawin, maka untuk tetap menjaga hubungan antara pihak laki-laki dan perempuan, ada satu fase tradisi yang harus diakukan. Pihak wanita dapat menyediakan, memberikan, dan membantu kain timur kepada pihak laki-laki, kapan saja, dan di mana saja diperlukan. Pemberian itu nantinya wajib dikembalikan pada suatu waktu tertentu. Rumusnya adalah: Kembali Pokok ditambah bunga, dan hadiah atau persen, dan anak. Nilai dari pokok dapat berupa kain timur yang sama, atau kain yang lainnya yang memiliki nilai sama atau lebih tinggi. 

2. Jaringan pertukaran Kain Timur Perjalanan panjang satu kain timur, melibatkan banyak individu, etnis, budaya, kelompok, bahkan cross border (distrik dan kabupaten). Hubungan kekeluargaan, kerabat, dan persaudaraan, dapat dibangun melalui jaringan perjalanan kain timur tersebut. Jaringan tersebut dapat juga menjadi satu potensi besar di dalam upaya menggalang massa dan dukungan dalam rangka mendapat kedudukan dan kekuasaan dalam Pilkada.

Hubungan di antara pihak pemberi dan pihak penerima tersebut, sebagaimana tercermin pula dalam transaksi pertukaran 
Kain Timur, selain membentuk kekuatan pengikat sekaligus juga merupakan kekuatan pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan pengembalian balasan kepada pihak pemberi.

Dari sisi pandang politik, dinyatakan oleh Mansoben (1994: 63) bahwa melakukan pemberian merupakan modal bagi pihak pemberi untuk mengikat pihak penerima, di mana pihak penerima diikat menjadi pendukung guna mencapai tujuan politiknya. Semakin banyak bantuan atau sumbangan diberikan, menjadi semakin banyak pula orang yang diikat sebagai pendukung; dan hal ini berarti pula semakin kuat kedudukan politik dari pihak pemberi.

Terkait dengan pemberian bantuan atau sumbangan, menarik disimak pendapat Bailey (dalam Mansoben, 1994: 63) yang menyatakan bahwa pemberian yang digunakan untuk kepentingan politik merupakan ‘racun’ bagi pihak penerima. Hal ini karena pemberian yang terus menerus dilakukan secara sepihak dapat menciptakan hubungan yang bercorak asimetris, di mana pihak pemberi berperan sebagai patron dan pihak penerima berperan sebagai client.

Berdasarkan fenomena ini muncul pertanyaan mengenai bagaimana aktor politik memanfaatkan tradisi pertukaran Kain Timur sebagai instrumen mobilisasi dukungan untuk meraih kekuasaan ?

Otto Ihalauw sebagai aktor politik Kain Timur

Otto Ihalauw dalam posisinya sebagai bupati Sorong Selatan, memiliki sumber daya normatif berupa kewenangan untuk mengatur dan memimpin birokrasi pemerintahan. Atas dasar kewenangan tersebut, Otto Ihalauw memanfaatkan jajaran birokrasi untuk menggalang dukungan massa.
Langkah pertama yang ditempuh adalah menggalang dukungan di kalangan birokrasi itu sendiri, dan kemudian pada gilirannya jajaran birokrasi dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan massa. Berbekal sumber daya kewenangan sebagai Bupati, mobilisasi pada jajaran birokrasi dilakukan Otto Ihalauw melalui pertimbangan keterwakilan etnisitas.
 
Seorang birokrat yang menduduki jabatan struktural dipandang mampu mengangkat derajat sosial etnis di mana yang bersangkutan berasal sekaligus memudahkan kelompok etnis tersebut dalam menyalurkan aspirasi kepentingannya.

Pertimbangan keterwakilan etnisitas dalam pengisian jabatan struktural birokrasi yang ditempuh Otto Ihalauw sebagaimana dipaparkan di atas dapat dinyatakan relatif berhasil. Keberhasilan tersebut tidak hanya dalam hal penggalangan dukungan, namun juga berhasil dalam menciptakan stabilitas jalannya roda pemerintahan di bawah kepemimpinannya. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa mobilisasi dukungan yang dilakukan Otto Ihalauw selaras dengan mekanisme pertukaran yang ada pada tradisi Kain Timur. Mekanisme pengangkatan atau penempatan pejabat struktural, dimaknai sebagai bentuk pemberian Otto Ihalauw kepada para pejabat yang diangkat atau ditempatkan pada posisi-posisi jabatan tersebut.

Demikian pula halnya dengan mekanisme penerimaan pegawai negeri sipil juga dapat dimaknai sebagai bentuk pemberian Otto Ihalauw kepada kelompok etnis di mana calon pegawai yang diterima berasal. Mereka yang memperoleh pemberian dari Otto Ihalauw memaknainya sebagai utang yang wajib dikembalikan; sementara itu, Otto Ihalauw memaknai pemberian itu sebagai bentuk tabungan atau investasi yang hasilnya akan diperoleh melalui pengembalian balasan. 

Mereka yang menerima pemberian berkewajiban melakukan pengembalian balasan dalam bentuk dukungan kepada Otto Ihalauw. Pengembalian balasan berupa dukungan dapat dimaknai sebagai pembayaran utang dari mereka yang pernah memperoleh pemberian dari Otto Ihalauw. 

Sementara itu, pengembalian balasan berupa dukungan dapat dimaknai oleh Otto Ihalauw sebagai hasil dari tabungan atau 
investasi yang dilakukan. Mekanisme hubungan antara Otto Ihalauw sebagai pihak pemberi dengan pihak penerima berlangsung terus menerus tanpa terputus. 
Pengembalian balasan berupa dukungan yang diterima Otto Ihalauw wajib ditindaklanjuti dengan pemberian berikutnya kepada mereka yang melakukan pengembalian balasan. Mekanisme hubungan ini berlangsung terus-menerus. 

Filosofi Politik Permainan Kain Timur ialah pola, teknik, dan sistemnya yang mengandung makna positif di dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, khususnya dalam menggalang dukungan atau massa dalam meraih kedudukan.

Pengaruh tradisi pertukaran Kain Timur di ranah tersebut, mereka yang memperoleh pemberian baik berupa materi maupun non-materi punya kewajiban untuk melakukan pengembalian sebagai balasan dalam bentuk dukungan kepada Otto Ihalauw dalam Pilkada, yakni berupa dukungan kepada dirinya maupun perebutan kekuasaan. 




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama