Politik Pemekaran DOB di Papua, Perpotensi mengancam OAP

 

Unjuk Rasa Mahasiswa di Manokwari Dalam
Rangka Menolak DOB di Papua dan Papua Barat (foto mkumparan.com)


Pemekaran daerah diyakini mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui pembangunan serta pengembangan wilayah. Namun, pemekaran DOB tidak selalu berjalan normal. Pasalnya, pemekaran DOB diiringi dengan konflik baru antardaerah. Jika wilayahnya semakin meluas, kemungkinan terjadinya konflik spasial akibat masalah kependudukan dan batas wilayah semakin besar. Konflik kewilayahan akibat dari DOB memberikan dampak secara ekonomi, politik, dan sosial budaya (Muksin & Robo, 2021). 

Di sisi lain, kebijakan pemekaran daerah tidak berjalan maksimal karena sangat didominasi oleh kepentingan politik (Muqoyyidin, 2013). Dengan adanya distribusi kekuasaan di ranah lokal membuka ruang persaingan baru bagi aktor politik untuk memperoleh kekuasaan. Politik di aras lokal pascareformasi, dengan adanya desentralisasi mendorong lahirnya praktik dinasti politik. Di mana elite politik yang memiliki modal sosial, ekonomi, politik, dan sosial budaya cenderung mengendalikan kekuasaan di tingkat lokal (Muksin, Purwaningsih, & Nurmandi, 2019). Dalam konteks pusat dan daerah, pemekaran adalah upaya para elite politik lokal untuk merebut kekuasaan yang ada pada pemerintahan pusat, sehingga kesan dari pemekaran hanyalah arena pertarungan dan pembagian kekuasaan (Riwanto Tirtosudarmo, 2007).

Berdasarkan narasi di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemekaran yang terjadi tidak selamanya didasarkan pada kepentingan masyarakat melainkan adanya kepentingan kuasa dari elite politik. Karena alasan inilah, sehingga rencana pemekaran selalu menemui pro dan kontra. Akhir-akhir ini ada isu yang sedap dibincangkan bahkan menarik perhatian masyarakat dari Sorong hingga Merauke. Isu tersebut bukan isu Covid-19 dan bukan juga kampanye politik namun isu pemekaran DOB baru  Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua.

Peneliti masalah Papua dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyatakan, pemekaran baru akan lebih bermanfaat bagi masyarakat pendatang. Itu kegelisahan yang harus diperhitungkan, karena jumlah orang Papua tak banyak. Contohnya, orang pendatang mengisi bangku birokrasi. “Ada kekhawatiran sebagian orang bahwa ini proyek orang-orang tertentu atau kepentingan elite, tak punya proyeksi jangka panjang menyelesaikan permasalahan kesejahteraan", (Tirto.id 21 Juli 2021).

 Papua adalah daerah konflik. Lantas bila pemerintah punya kepentingan strategis nasional dalam konteks pemekaran, bagaimana memberitahukan kepada orang Papua? Tantangan lainnya, pemerintah harus bisa mengkomunikasikan rencana itu kepada orang Papua. Misalnya, perihal pembangunan pangkalan militer di daerah otonom baru. 

Tentu bagi rakyat Papua, keberadaan militer bukan lah sekadar pembawa kedamaian lantaran aparat pun melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang asli Papua. Hal itu memperkuat traumatis penduduk. Pemerintah mesti lihat betul kondisi riil Papua saat ini. 

Sementara tuntutan daerah baru masih sama, yaitu ada pemerintahan yang berjalan, pengelolaan anggaran, harus membangun ini-itu, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Orang asli Papua mesti dibantu. Kalau daerah baru itu mau dibuat seperti apa? Konflik di antara Papua juga lumayan tinggi,” tutur Adriana. “Sebelum sampai ke pemekaran, harus selesaikan dahulu masalah-masalah yang ada selama ini", (Tirto id 21 Juli 2021). 

Jalan Baru Genosida? 

Pemekaran dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi,dan perkembangan pada masa mendatang. Pengusulan daerah otonom baru tidak benar-benar dari rakyat. Pemekaran akan menyulitkan orang asli Papua. 

Pemekaran yang ada, tidak berdampak signifikan. Meski ada otonomi khusus, kesejahteraan orang asli Papua (OAP) belum meningkat. Contoh nyata di kota-kota besar di Papua, penduduk asli tidak memiliki toko bakal berdagang. Sebaliknya, para pendatang lah yang memiliki toko. Kesenjangan ini adalah bukti nyata. Papua butuh desain utama perihal pembangunan sumber daya manusia agar orang Papua bisa bertumbuh optimal. 

aktivis dari Bumi Cenderawasih, Filep Jacob Semuel Karma, menyatakan orang Papua sampai hari ini tidak dianggap sebagai manusia. Orang Papua punya buah pikiran ihwal kesejahteraannya, tapi tidak dipandang. Sementara pemerintah pusat merasa lebih tahu apa yang membuat orang Papua sejahtera.

Bahkan pemberlakuan UU Otsus terbarum embuktikan pemerintah Indonesia membeda-bedakan orang Papua. “Ini pemaksaan politik, Devide et Impera di era modern. Karena kepentingan dari kapitalisme yang dipertahankan lewat kolonialisme yang rasis dan diskriminatif. Diskriminatif yang Filep maksud karena pemerintah pusat tak meminta aspirasi rakyat Papua", dan pemerintah pusat sesuka hati memekarkan daerah. 

Salah satu masalah yang timbul akibat pemekaran: perang suku. Misalnya, pembagian kabupaten tak memperhatikan bahwa tanah tersebut milik suku lainnya. “Ini strategi untuk me-genosida-kan orang Papua secara kasar maupun halus. Sebab orang Papua merasa punya harga diri, kalau dia punya tanah adat.

 Tapi kalau tanah adat dirampas, maka hidupnya terlunta seperti pengemis di Jakarta.” Meski secara kacamata pembangunan, pemekaran adalah sebuah kemajuan. Tapi dari sisi sosial, pemekaran merupakan kehancuran. Papua ia anggap sebagai wilayah jajahan Indonesia, pemerintah pusat memaksakan kehendaknya sehingga rakyat tanah jajahan tak berhak didengar. 

Meski isu pemekaran ini belum tahu kapan dilaksanakan, Filep mengklaim dirinya tetap konsisten dengan upaya yang ia lakukan. “Saya akan tetap konsisten, perjuangan Papua Merdeka. Hanya itu solusi bagi orang Papua. Jika tidak dengan itu, kami akan musnah,” kata Filep (Tirto.id 21 Juli 2021).

Octovianus Duwith

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama